A.
Paradigma
Baru Manajemen Pendidikan
Dalam
upaya menjawab kebutuhan dan tantangan dunia global saat ini, paling tidak ada
dua aspek dalam sistem pendidikan yang dapat kita jadikan bahan kajian dan kita
gali untuk dilakukan perubahan menjadi paradigma baru yang berlaku.
Aspek pertama
adalah dalam hal metode pembelajaran, sejak dahulu metode pembelajaran kita
selalu berorientasi dan bersumber hanya kepada guru dan berlangsung satu arah (one way), kita sepakat bahwa metode ini
sudah tidak dapat dipertahankan lagi dengan tanpa mengenyampingkan bahwa Guru
itu tetap harus menjadi insan yang patut di Gugu dan di tiru. Sudah saatnya
kini orientasi berubah tidak hanya kepada satu sumber saja (Guru), tetapi harus
dilakukan berorientai kepada siswa dan secara multi arah, dengan terjadinya
proses interaksi ini diharapkan agar siswa menumbuhkan tingkat kepercayaan
dirinya, aktif, mau saling bertukar informasi, meningkatkan keterampilan
berkomunikasi, berfikir kritis, membangun kerja sama, memahami dan menghormati
akan adanya perbedaan pendapat dan masih banyak harapan positif lainnya yang
lahir dari adanya perubahan tersebut serta pada akhirnya siswa akan dihadapkan
pada realitas yang sebenarnya dalam memandang dan memahami konteks dalam
kehidupan kesehariannya.
Aspek
kedua adalah menyangkut manajemen lembaga pendidikan itu sendiri, seperti kita
alami selama ini dimana pada waktu sebelumnya sekolah hanya bergerak dan
beroperasi sendiri-sendiri secara mandiri, maka dalam konteks pembelajaran masa
kini dan kedepan setiap sekolah harus mempunyai dan membangun networking antar
lembaga pendidikan yang dapat saling bertukar informasi, pengetahuan dan sumber
daya, artinya sekolah lain sebagai institusi tidak lagi dipandang sebagai rival
atau kompetitor semata tetapi lebih sebagai mitra (counterpart).
B.
Fungsi-Fungsi yang Didesentralisasikan
ke Sekolah
Secara
luas sumber daya yang didesentralisasikan
menurut Candoli, Caldwell dan Spink meliputi: “Pengetahuan (knowledge), teknologi (technology),
kekuasaan (power), material (material), manusia (people), waktu (time),
keuangan (finance)”. Bedjo Sujanto menyatakan
bahwa aspek-aspek yang dapat didesentralisasikan ke sekolah meliputi:
1.
Perencanaan
dan evaluasi program sekolah
2.
Pengelolaan
kurikulum
3.
Pengelolaan
proses belajar mengajar
4.
Pengelolaan
ketenagaan
5.
Pengelolaan
peralatan dan perlengkapan
6.
Pengelolaan
biaya pendidikan.
Lebih lanjut Ace Suryadi menyebutkan bahwa “MBS
mengandung makna sebagai manajemen partisipatif yang melibatkan peran serta
masyarakat, sehingga kebijakan dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan
keputusan bersama, untuk mencapai keberhasilan bersama”. Kebijakan
dan keputusan yang diambil secara partisipasif oleh semua warga sekolah
meliputi :
1.
Penyusunan rencana dan program
Sebagai
ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan, sekolah bertanggung jawab dalam
menentukan kebijakan sekolah dalam melaksanakan kebijakan pendidikan sesuai
dengan arah kebijakan pendidikan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sebagai
penyelenggara dan pelaksana kebijakan pendidikan nasional, sekolah-sekolah
bertugas untuk menjabarkan kebijakan pendidikan nasional menjadi
program-program operasional penyelenggaraan pendidikan di masing-masing
sekolah.
2.
Penyusunan rancangan anggaran pendapatan
dan belanja sekolah (RAPBS)
Sebagai pelaksana pendidikan yang
otonom, sekolah berperan dalam menyusun RAPBS setiap akhir tahun ajaran untuk
digunakan dalam tahun ajaran berikutnya. Program-program yang sudah dirumuskan
untuk satu semester atau satu tahun ajaran ke depan perlu dituangkan dalam
kegiatan-kegiatan serta anggarannya masing-masing sesuai pos-pos pengeluaran
pendidikan di tingkat sekolah.
3.
Pelaksanaan program pendidikan
Sekolah-sekolah diberikan
kesempatan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur pelaksanaan pendidikan
pada masing-masing sekolah sesuai dengan paradigma MBS. Kepala sekolah diberikan keleluasaan
untuk mengelola pendidikan dengan jalan mengadakan serta memanfaatkan sumber
daya pendidikan sendiri-sendiri asalkan sesuai dengan kebijakan dan standar
yang ditetapkan pusat.
4.
Akuntabilitas pendidikan
Di era demokrasi dan partisipasi,
akuntabilitas pendidikan tidak hanya terletak pada pemerintah, tetapi bahkan
harus lebih banyak pada masyarakat sebagai stakeholder
pendidikan. Disini komite sekolah dapat menyampaikan ketidakpuasan para
orang tua murid akan rendahnya prestasi yang dicapai oleh suatu sekolah.
Memperhatikan beberapa pendapat di atas dapat
dipahami bahwa fungsi-fungsi yang didesentralisasikan ke sekolah meliputi:
a.
Perencanaan
dan evaluasi program sekolah
b.
Pengelolaan
kurikulum
c.
Pengelolaan
proses belajar mengajar
d.
Pengelolaan
ketenagaan
e.
Pengelolaan
peralatan dan perlengkapan
f.
Pengelolaan
biaya pendidikan
g.
Pelayanan terhadap Siswa
h.
Interaksi Sekolah dan Masyarakat
i.
Pengelolaan kondisi Sekolah yang lebih
kondusif.
C.
Paradigma
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Pemberdayaan sekolah dengan memberi otonomi yang lebih
luas di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan
masyarakat, juga diharapkan dapat dipakai sebagai sarana meningkatkan efisiensi
pendidikan. Menurut Hamijoyo desentralisasi,
termasuk desentralisasi urusan pendidikan mutlak perlu karena alasan-alasan
sebagai berikut:
1.
Wilayah
Indonesia yang secara geografis sangat luas dan beraneka ragam
2.
Aneka
ragam golongan dan lingkungan sosial, budaya, agama, ras dan etnik serta bahasa
3.
Besarnya
jumlah dan banyaknya jenis populasi pendidikan yang tumbuh sesuai dengan
perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, perdagangan, dan sosial
budaya
4.
Perluasan
lingkungan suasana yang menimbulkan aspirasi dan gaya hidup yang berbeda antar
wilayah
5.
Perkembangan
sosial politik, ekonomi, budaya yang secara cepat dan dinamis menuntut
penanganan segala persoalan secara cepat dan dinamis.
MBS
adalah sistem manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi serta kebutuhan
sekolah setempat. Sekolah diharapkan mengenal seluruh infrastruktur yang berada
di sekolah, seperti guru, peserta didik, sarana prasarana, finansial,
kurikulum, sistem informasi. Komponen-komponen tersebut merupakan unsur-unsur
manajemen yang harus difungsikan secara optimal dalam arti perlu direncanakan,
diorganisasi, digerakkan, dikendalikan, dan dikontrol.
Dalam MBS, sekolah diharapkan mengenal kekuatan dan
kelemahannya, potensi-potensinya, peluang dan ancaman yang dihadapinya, sebagai
dasar dalam menentukan berbagai kebijakan pendidikan yang akan diambilnya . Berdasarkan
analisis tersebut, lalu sekolah merumuskan kunci sukses dan merumuskan visi,
misi, sasaran, dan menyusun strategi serta menetapkan berbagai program pengembangan
untuk jangka waktu tertentu yang mungkin berbeda dari sekolah lain. MBS
dikembangkan dengan kasadaran bahwa setiap sekolah memiliki kondisi dan situasi
serta kebutuhan yang berbeda-beda.
MBS
memerlukan upaya-upaya integrasi penyelarasan sehingga pelaksanaan pengaturan
berbagai komponen sekolah tidak akan terjadi tumpang tindih, berbenturan,
saling lempar tugas dan tangggungjawab. Menurut Hasbullah
pelaksanaan MBS dalam kerangka desentralisasi pendidikan ini memiliki beberapa
faktor yang perlu diperhatikan, sebagai berikut:
1.
Sekolah dituntut mampu menampilkan
pengelolaan sumberdaya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli, dan
tanggungjawab terhadap masyarakat maupun pemerintah.
2.
Peranan pemerintah merumuskan kebijakan
pendidikan yang menjadi prioritas nasional dan merumuskan pelaksanaan MBS.
Sekolah menjabarkannya sesuai dengan potensi lingkungan sekolah.
3.
Perlu
dibentuk School Council (dewan sekolah/komite sekolah) yang keanggotaannya
terdiri dari guru, kepala sekolah, orangtua peserta didik, dan masyarakat.
4.
MBS menuntut perubahan perilaku kepala
sekolah, guru, dan tenaga administrasi menjadi lebih profesional dan manajerial
dalam pengoperasian sekolah.
5.
Dalam meningkatkan profesionalisme dan
kemampuan manajemen yang terkait dengan MBS perlu diadakan kegiatan-kegiatan
seperti pelatihan dan sejenisnya.
6.
Keefektifan MBS dapat dlihat dari
indikator-indikator sejauh mana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi
sekolah, proses pembelajaran, pengelolaan sumberdaya manusia dan administrasi.
MBS
mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka adalah pihak
yang paling mengetahui operasional pendidikan. Otonomi diberikan agar sekolah
dapat leluasa mengelola sumberdaya dengan mengalokasikannya sesuai dengan
prioritas kebutuhan serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan
lingkungan setempat.
Masyarakat dituntut partisipasinya agar mereka lebih memahami kompleksitas pendidikan, membantu, serta turut mengontrol pengelolaan pendidikan. Sesuai dengan strategi ini, sekolah seyogianya bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang bertanggungjawab terhadap klien atau stakeholders yang diwakili oleh Komite Sekolah. Namun, Komite Sekolah yang semestinya menjadi organisasi yang strategis dalam upaya membantu meningkatkan mutu pendidikan di daerah, belum optimal pemberdayaannya. Padahal keberadaan komite sekolah itu sangat penting sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003.
Masyarakat dituntut partisipasinya agar mereka lebih memahami kompleksitas pendidikan, membantu, serta turut mengontrol pengelolaan pendidikan. Sesuai dengan strategi ini, sekolah seyogianya bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang bertanggungjawab terhadap klien atau stakeholders yang diwakili oleh Komite Sekolah. Namun, Komite Sekolah yang semestinya menjadi organisasi yang strategis dalam upaya membantu meningkatkan mutu pendidikan di daerah, belum optimal pemberdayaannya. Padahal keberadaan komite sekolah itu sangat penting sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003.
Implementasi
MBS akan berlangsung sangat efektif dan efisien apabila didukung oleh
sumberdaya manusia yang profesional untuk mengoperasionalkan sekolah, dana yang
cukup agar sekolah mampu menggaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana
prasarana yang memadai untuk mendukung proses pembelajaran, serta dukungan
masyarakat (orangtua). Berarti dengan pelaksanaan otonomi pendidikan, setiap
sekolah dapat menerapkan pola manajemen baru sesuai dengan semangat otonomi itu
sendiri.
Perbandingan Pola Pendidikan Nasional yang lama, yaitu pola pendidikan sebelum dilaksanakannya
otonomi pendidikan kepada pola baru, yaitu pola setelah dilaksanakannya otonomi
pendidikan(MBS).
Pola Lama
|
Pola Baru
|
Subordinasi
|
Otonomi
|
Pengambilan Keputusan Terpusat
|
Pengambilan keputusan partisipasi
|
Ruang gerak kaku
|
Ruang gerak Luwes
|
Pendekatan Birokratik
|
Pendekatan Profesional
|
Sentralistik
|
Desentralisasi
|
Diatur
|
Motivasi Diri
|
Over Regulasi
|
Deregulasi
|
Mengontrol
|
Mempengaruhi
|
Mengarahkan
|
Memfasilitasi
|
Menghindari Risiko
|
Mengelola Risiko
|
Gunakan
uang semuanya
|
Gunakan uang seefisien mungkin
|
Individu yang cerdas
|
Teamwork yang cerdas
|
Informasi terpribadi
|
Informasi Terbagi
|
Pendelegasian
|
Pemberdayaan
|
Organisasi Hierarki
|
Organisasi Dasar
|
Sumber:
Direktorat PLP Depdiknas, 2002: Konsep MPMBS
Pada
pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program daripada
mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang
dibuat sendiri oleh sekolah. Sementara itu, pada pola baru, sekolah memiliki
kewenangan lebih besar dalam pengelolaan lembaga, pengambilan keputusan
dilakukan secara partisipatif dan partisipasi masyarakat semakin besar, sekolah
lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih
diutamakan dari pada pendekatan birokratis, dan sebagainya. Pada dasarnya MBS
dijiwai oleh pola baru manajemen pendidikan masa depan sebagaimana digambarkan
pada tabel tersebut di atas.
D.
Pengertian
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut
Fasli Jalal dan Dedi Supriadi “Manajemen Berbasis Sekolah adalah bentuk
alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi dalam bidang pendidikan”.
Manajemen Berbasis Sekolah berpotensi untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu di tingkat
sekolah sehingga menjamin semakin rendahnya kontrol pemerintah pusat. Selain
itu juga, semakin meningkatnya otonomi untuk menentukan sendiri apa yang perlu
diajarkan dan mengelola sumber daya yang ada untuk berinovasi.
Sedangkan menurut E. Mulyasa “Manajemen Berbasis Sekolah
merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat
sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Dengan adanya otonomi luas, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih luas
dalam mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai
dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan sekolah.
Menurut
Sudarwan Danim “Manajemen
Berbasis Sekolah merupakan suatu proses kerja komunitas sekolah dengan cara
mene-rapkan kidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, dan
sustainabilitas untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara
bermutu”. Sekolah memiliki otonomi pengelolaan kompleks sekolah, tempat untuk
dapat menciptakan kondisi sekolah yang efektif diperlukan partisipasi semua
komunitas sekolah.
Dari ketiga pendapat para ahli tersebut dapat dipahami
bahwa Manajemen Berbasis Sekolah sebagai desentralisasi kewenangan pembuatan
keputusan pada tingkat sekolah merupakan kebutuhan yang harus dilaksanakan
dalam rangka reformasi pendidikan dan upaya-upaya perbaikan peningkatan
keefektifan proses pembelajaran dan ini merupakan salah satu reorientasi
penyelenggaraan pendidikan.
E.
Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah
( MBS)
MBS diartikan sebagai wujud dari “reformasi pendidikan”,
yang menginginkan adanya perubahan dari kondisi yang kurang baik menuju kondisi
yang lebih baik dengan memberikan kewenangan (otoritas) kepada sekolah untuk
memberdayakan dirinya. Menurut Fattah MBS pada prinsipnya menempatkan
kewenangan yang bertumpu kepada sekolah dan masyarakat, menghindarkan format
sentralisasi dan birokratisasi yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi
manajemen sekolah. Dalam konteks ini Mohrman, et al memandang MBS sebagai suatu pendekatan
politik untuk meredesain dan memodifikasi struktur pemerintahan dengan
memindahkan otoritas ke sekolah, memindahkan keputusan pemerintah pusat ke
lokal stakeholders, dengan mempertaruhkan pemberdayaan sekolah dalam
meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Hal tersebut sejalan dengan dengan
jiwa dan semangat desentralisasi dan otonomi di sekitar pendidikan.
Manajemen
Berbasis Sekolah memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang
menerapkannya. Jika berbicara masalah Manajemen Berbasis Sekolah yang merupakan
wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh karena itu
karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah memuat secara inklusif elemen-elemen
sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses, dan output.
Menurut
E. Mulyasa karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah dapat diidentifikasi
sebagai berikut:
1.
Pemberian otonomi luas kepada sekolah
2.
Tingginya partisipasi masyarakat dan
orang tua
3.
Kepemimpinan demokratis dan professional
4.
Teamwork
yang kompak dan transparan
Secara eksplisit Bedjo Sujanto menjelaskan
karakteristik MBS sebagai berikut:
1.
Tinjauan input pendidikan
a.
Siswa : sebagai masukan utama
b.
Mimeliki kebijakan, tujuan, dan sasaran
mutu yang jelas
c.
Sumberdaya tersedia dan siap
d.
Staf yang kompeten dan dedikasi tinggi
e.
Memiliki harapan prestasi yang tinggi
f.
Fokus pada pelanggan (siswa/masyarakat);
g.
Input manajmen : tugas jelas, rencana
rinci dan sistematis, program kerja, aturan jelas, pengendalian mutu yang
jelas.
2.
Tinjauan proses pendidikan
a.
Proses belajar-mengajar yang efektif;
b.
Kepemimpinan sekolah yang kuat;
c.
Lingkungan sekolah yang aman dan tertib;
d.
Pengelolaan tenaga kependidikan yang
efektif;
e.
Sekolah memiliki budaya mutu;
f.
Sekolah memiliki team work yang kompak,
cerdas, dan dinamis;
g.
Sekolah memiliki kewenagan/kemandirian;
h.
Partisipasi yang tinggi dari warga
sekolah dan masyarakat;
i.
Sekolah memiliki keterbukaan
(transparansi) manajemen;
j.
Sekolah memiliki kemauan untuk berubah
(secara psikologis dan fisik);
k.
Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan
secara berkelanjutan;
l.
Sekolah responsif dan antisipatif terhadap
perubahan kebutuhan;
m.
Mampu memelihara dan mengembangkan
komunikasi yang baik;
n.
Sekolah memiliki akuntabilitas publik
yang kuat.
3.
Tinjauan output pendidikan
a.
Prestasi siswa yang tinggi : sebagai
hasil PMB yang bermutu;
b.
Prestasi sekolah (akdemik dan non
akademik);
Menurut Ibrahim Bafadal,terdapat tiga karakteristik kunci MBS,
sebagai berikut : Pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan
keputusan yang berhubungan peningkatan mutu pendidikan didesentalisasikan
kepada para stakeholder sekolah. Kedua, manajemen peningkatan mutu pendidikan
mencakup keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan,
kepegawaian, sarana dan prasarana, penerimaan siswa baru dan kurikulum. Ketiga,
walaupun keseluruhan manajemen peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan
ke sekolah-sekolah, namun diperlukan regulasi yang mengatur fungsi kontrol
pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab sekolah.
Manajemen Berbasis Sekolah ditawarkan sebagai bentuk
operasional desentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Menurut
Mulyasa (2004, hlm. 36) ”Karakteristik MBS bisa diketahui antara lain dari
bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran,
pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem
administrasi secara keseluruhan”.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa
secara substansial karakteristik MBS adalah pemberian otonomi yang luas kepada
sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi,
kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional, serta adanya team work
yang tinggi dan profesional.
F.
Faktor-Faktor yang Harus Diperhatikan
dalam Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
Depdiknas
dalam Mulyasa (2004, hlm. 38) menyatakan bahwa “terdapat empat faktor penting
yang harus diperhatikan dalam implementasi MBS yaitu : kekuasaan, pengetahuan
dan keterampilan, sistem informasi, serta sistem penghargaan”.
1.
Kekuasaan yang dimiliki sekolah
Kepala sekolah memiliki kekuasaan
yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan
dibandingkan dengan sistem manajemen pendidikan yang dikontrol oleh pusat.
Besarnya kekuasaan sekolah tergantung bagaimana MBS diterapkan. Pemberian kekuasaan
secara utuh seperti dituntut MBS tidak mungkin dilaksanakan sekaligus, tetapi
memerlukan proses transisi dari manajemen terpusat ke MBS. Kekuasaan lebih
besar yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam pengambilan keputusan perlu
dilaksanakan secara demokratis, antara lain dengan melibatkan semua pihak
khususnya guru dan orang tua peserta didik membentuk pengambil keputusan dalam
hal relevan dengan tugasnya, menjalin kerjasama dengan masyarakat dan dunia
kerja.
2.
Pengetahuan dan keterampilan
Kepala sekolah beserta seluruh
warganya (guru-gurunya) senantiasa belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilannya secara berkesinambungan.
3.
Sistem informasi yang jelas
Sekolah yang melaksanakan MBS perlu
memiliki informasi yang jelas tentang program yang netral dan transparan,
karena dari informasi tersebut seseorang akan mengetahui kondisi sekolah.
Informasi ini sangat penting untuk dimiliki sekolah, antara lain berkaitan
dengan kemampuan guru, prestasi peserta didik, kepuasan orang tua dan peserta
didik, serta visi dan misi sekolah yang menjadi nilai jual.
4.
Sistem penghargaan
Sekolah yang melaksanakan MBS perlu
menyusun sistem penghargaan bagi warganya ( guru-gurunya) yang berprestasi,
terutama untuk mendorong karirnya. Sistem ini diharapkan mampu meningkatkan
motivasi dan produktivitas kerja kalangan warga sekolah.
PENUTUP
Manajemen Berbasis
Sekolah sebagai desentralisasi kewenangan pembuatan keputusan pada tingkat
sekolah merupakan kebutuhan yang harus dilaksanakan dalam rangka reformasi pendidikan
dan upaya-upaya perbaikan peningkatan keefektifan proses pembelajaran dan ini
merupakan salah satu reorientasi penyelenggaraan pendidikan.
Karakteristik MBS pemberian otonomi luas kepada
sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua, kepemimpinan yang demokratis dan
profesional, dan team work yang kompak dan transparan. Faktor yang terpenting
dalam MBS adalah : Kekuasaan yang dimiliki sekolah, pengetahuan dan
keterampilan, sistem informasi yang jelas, dan sistem penghargaan.
Selanjutnya fungsi-fungsi yang didesentralisasikan
ke sekolah meliputi:
1.
perencanaan dan evaluasi program sekolah
2.
Pengelolaan
kurikulum
3.
Pengelolaan
proses belajar mengajar
4.
Pengelolaan
ketenagaan
5.
Pengelolaan
peralatan dan perlengkapan
6.
Pengelolaan
biaya pendidikan
7.
Pelayanan terhadap Siswa
8.
Interaksi Sekolah dan Masyarakat
9.
Pengelolaan kondisi Sekolah yang lebih
kondusif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar